Upacara Adat Rabo pungkasan Desa Wonokromo

Administrator 02 April 2015 12:34:07 WIB

Upacara Rebo Wekasan merupakan upacara adat yang terdapat di Desa Wonokromo, Kecamatan Pleret, Kabupaten Bantul, Propinsi DIY. Dengan ibukota propinsi, desa tersebut berjarak 10 km ke arah selatan. Desa ini dibagi menjadi 12 dusun, yaitu Dusun Wonokromo I, Wonokromo II, Karanganom, Ketanggajati, Sarean, Jejeran I, Jejeran II, Brajan, Pandes I, Pandes II, dan Demangan Kopen.

Desa Wonokromo mempunyai wilayah seluas 21,34 km2 dengan penduduk berjumlah 9.150 juta dan Kepala Keluarganya ada 2.367. Dengan melihat data tersebut berarti kepadatan penduduk rata-rata 2.108 juta jiwa/km2 dan jumlah rata-rata 3,87 jiwa/KK, dan jumlah penduduk sebesar 9.150 jiwa, sebagian besar beragama Islam dan yang sebagian kecil ada yang beragama Katholik, Kristen, Hindu, dan Budha. Mengenai fasilitas ibadah dapat dikatakan hampir setiap RW memiliki masjid atau langgar dan di wilayah ini terkenal dengan daerah santri. Mayoritas 75% dari penduduk Wonokromo mempunyai mata pencaharian sebagai petani, 15% pedagang, dan selebihnya ada yang menjadi PNS, ABRI, tukang, swasta, dan lain-lain.

Mengenai Upacara Rebo Wekasan atau Rebo Pungkasan ini akan dibahas tentang nama upacara, tujuan upacara, cerita/mitos upacara, komponen upacara, dan sesaji/peralatan upacara.

1.  Nama Upacara

Upacara yang ada di Wonokromo ini disebut Rebo Pungkasan atau Rebo Wekasan. Disebut Rebo Pungkasan atau Rebo Wekasan karena upacara ini diadakan pada hari Rabu terakhir pada bulan Sapar. Kata Sapar ini identik dengan ucapan kata Arab syafar yang berarti bulan Arab yang kedua. Selanjutnya kata syafar yang identik dengan kata sapar ini menjadi salah sebuah nama bulan Jawa yang kedua dan jumlah bulan yang 12 itu.

Dalam upacara ini sebagai puncak acaranya adalah Selasa malam atau malem Rebo. Dahulu upacara ini dipusatkan di depan masjid dan biasanya seminggu sebelum puncak acara sudah diadakan keramaian, yaitu pasar malam. Upacara ini dipilih hari Rabu, konon hari Rabu terakhir dalam bulan Sapar itu merupakan hari perternuan antara Sri Sultan HB I dengan mBah Kyai Faqih Usman. Berdasarkan pada hari itulah kemudian masyarakat menamakannya dengan Upacara Rebo Wekasan atau Rebo Pungkasan.

2.  Tujuan Upacara

Maksud dan tujuan penyelenggaraan Upacara Rebo Wekasan adalah sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, serta seorang kyai pertama di Wonokromo yaitu Kyai Faqih Usman atau Kyai Welit yang bisa menyembuhkan segala penyakit dan dapat memberikan berkah untuk kesuksesan usaha atau untuk tujuan-tujuan tertentu.

3. Cerita/Mitos Upacara

Mitos tentang Upacara Rebo Wekasan ada beberapa versi. Narnun inti dan upacara tersebut ada kesamaan, yakni tentang kyai yang tinggal di Desa Wonokromo dan mempunyai kelebihan mampu menyembuhkan berbagai macam penyakit dan dapat memberikan berkah untuk kesuksesan usaha dan tujuan-tujuan tertentu seperti membuat tolak bala dan sebagainya.

Ada beberapa versi cerita mengenai upacara adat Rebo Wekasan tersebut, yaitu:

a. Versi I

Rebo Wekasan sudah ada sejak tahun 1784 dan sampai sekarang upacara ini masih tetap dilestarikan. Pada jaman itu hidup seorang kyai yang bemama mBah Faqih Usman. Tokoh kyai yang kemudian lebih dikenal dengan nama Kyai Wonokromo Pertama atau Kyai Welit. Pada masa itu hidupnya mempunyai kelebihan ilmu yang sangat baik di bidang agama maupun bidang ketabiban atau penyembuhan penyakit.

Pada waktu itu masyarakat Wonokromo meyakini bahwa mBah Kyai mampu mengobati penyakit dan metode yang digunakan atau dipraktekkan mBah Kyai dalam pengobatan adalah dengan cara disuwuk, yakni dibacakan ayat-ayat AI-Qur’an pada segelas air yang kemudian diminumkan kepada pasiennya sehingga pasien tersebut dapat sembuh.

Pada saat itu di daerah Wonokromo dan sekitamya sedang terjadi pagebluk yang mengancam keselamatan jiwa banyak orang. Tak heran jika kemudian masyarakat berbondong-bondong kepada mBah Kyai untuk meminta obat dan meminta berkah keselamatan. Ketenaran mBah Kyai semakin tersebar sampai ke pelosok daerah, sehingga yang datang berobatpun semakin bertambah banyak, maka di sekitar masjid lalu dipadati para pedagang yang ingin mengais rejeki dan para tamu. Suasana seperti itu dapat mengganggu akan keagungan masjid dan sangat merepotkan jamaah yang akan memasuki masjid untuk sholat. Pada suatu saat mBah Kyai menemukan cara paling efektif untuk memberikan pengobatan dan berkah keselamatan kepada umatnya, yakni menyuwuk telaga di pertempuran Kali Opak dan Kali Gajahwong yang berada di sebelah timur kampung Wonokromo atau tepatnya di depan masjid.

Berkat ketenaran mBah Kyai Faqih, maka lama kelamaan sampai terdengar oleh Sri Sultan HB I. Untuk membuktikan berita tersebut kemudian mengutus empat orang prajuritnya supaya membawa mBah Kyai Faqih menghadap ke kraton dan memperagakan ilmunya itu. Temyata ilmu mBah Kyai itu mendapat sanjungan dari Sri Sultan HB I karena memang setelah masyarakat yang sakit itu diobati dan sembuh.

Sepeninggal mBah Kyai, lalu masyarakat meyakini bahwa mandi di pertempuran Kali Opak dan Kali Gajahwon dapat menyembuhkan berbagai penyakit dan mendatangkan berkah ketenteraman, sehingga setiap hari Rabu Wekasan masyarakat berbondong-bondong untuk mencari berkah. Dengan mandi di pertempuran itu dimaksudkan manusia bersuci atau selalu “wisuh” untuk menghilangkan kotoran-kotoran yang melekat di dalam tubuh. Namun masyarakat mengartikan lain, bahwa “wisuh” atau mandi tadi diartikan lain, yakni mandi dengan “misuh” atau berkata kotor. Menurut narasumber bahwa hal tersebut merupakan kepercayaan orang-orang yang datang dari luar daerah, sebab masyarakat Wonokromo sendiri tidak menggangap seperti itu, karena orang-orangnya beragama Islam yang kuat beragama dan menghindari syirik

 

b. Versi II

Upacara rebo wekasan ini tidak terlepas dari Kraton Mataram dengan Sultan Agung yang dulu pernah berkraton di Pleret. Upacara adat ini diselenggarakan sejak tahun 1600. Pada masa pemerintahan Mataram terjangkit wabah penyakit atau pagebluk. Melihat penderitaan  rakyatnya, Sultan Agung sangat prihatin yang kemudian Dia bersemedi di sebuah masjid di Desa Kerta.

Setelah melakukan semedi, kemudian Sultan menerima wangsit atau ilham, bahwa wabah penyakit tersebut bisa hilang dengan syarat mempunyai tolak bala. Dengan adanya wangsit tersebut, kemudian Sultan Agung memanggil Kyai Sidik yang bertempat tinggal di Desa Wonokromo untuk melaksanakan pembuatan tolak bala tersebut. Setelah itu Kayai Sidik atau dikenal dengan nama Kyai Welit karena sudah mendengar keampuhannya itu melaksanakan dawuh untuk membuat tolak bala yang berwujud rajah dengan tulisan arab Bismillahi Rahmanir Rakhim sebanyak 124 baris.

Setelah tulisan yang berwujud rajah itu selesai kemudian dibungkus dengan kain mori putih. Selanjutnya rajah tersebut diserahkan kepada Sultan Agung serta memohon supaya rajah tersebut dimasukkan kedalam air. Oleh Sultan Agung ajimat yang berupa rajah itu dimasukkan ke dalam bokor kencana yang sudah berisi air. Air ajimat itu kemudian diminumkan kepada orang sakit dan menyembuhkan. Mulai saat itu kabarnya tersebar sampai desa-desa dan menyebabkan orang sakit lalu berbondong bondong datang untuk mendapatkan air dari ajimat tersebut.

Dengan banyak penduduk yang berdatangan untuk minta air ajimat, dikuatrikan air tersebut tidak mencukupi. Akhirnya Sultan Agung memerintahkan kepada Kyai Sidik agar air ajimat yang masih tersisa dalam bokor kencana tadi dituangkan di tempuran Kali Opak dan Gajah Wong, dengan maksud supaya siapa saja yang membutuhkan cukup mandi di tempat tersebut. Berita itu cepat menyebar dan akhirnya masyarakat banyak yang mandi atau sekedar mencuci muka tempuran tersebut dengan harapan segala permasalahnnya dapat teratasi.

 

c. Versi III

Bagi masyarakat, yang namanya bulan Sura dan Sapar itu merupakan bulan yang sering terjadi mala petaka atau bahaya. Untuk itu masyarakat berusaha untuk menolaknya, supaya pada bulan-bulan tersebut tidak terjadi apa-apa. Adapun caranya adalah memohon kepada orang atau kyai yang dianggap lebih pintar atau mumpuni.

Pada waktu itu orang yang dianggap pintar adalah Kyai Muhammad Faqih dari Desa Wonokromo. Kyai Faqih ini juga disebut Kyai Welit, karena pekerjaannya adalah membuat welit atau atap dari rumbia. Mereka ini mendatangi Kyai Welit supaya membuatkan tolak bala yang berbentuk wifik atau rajah yang bertuliskan Arab. Rajah ini kemudian dimasukkan ke dalam bak yang sudah diisi air lalu dipakai untuk mandi dengan harapan supaya yang bersangkutan selamat.

Lama-kelamaan orang yang datang minta wifik atau rajah itu sangat banyak, sehingga Kyai Welit sangat repot. Akhirnya Kyai Welit menemukan cara baru, yaitu wifik atau rajah yang dipasang di tempuran Kali Opak dan Kali Gajahwong. Dengan cara ini orang tidak perlu mendatangi Kyai Welit dan mereka cukup mengambil air atau mandi di tempuran untuk mendapatkan berkah keselamatan sebagai sarana tolak bala. Konon di sungai tempuran itu setiap Rebo Wekasan bulan Sapar, yaitu pada-malam hari Selasa malam dipakai tempat penyeberangan orang-orang yang akan menuju ke Gunung Permoni yang terletak di Desa Karangwuni, Desa Trimulya. Saat mereka menyeberang sungai memang ada yang melontarkan kata-kata umpatan atau kurang pantas. Apalagi yang menyeberang adalah wanita dengan sendirinya harus cincing atau mengangkat rok/kain supaya tidak basah. Dan situlah yang kemudian orang mengatakan kata-kata yang kurang pantas.

Mereka menyeberang sungai karena waktu itu untuk menuju ke Gunung Permoni belum ada jembatan yang menghubungkan. Untuk itu satu-satunya jalan adalah menyeberang sungai tempuran tadi. Gunung Permoni ini merupakan Tamansari Kraton Mataram di Pleret dan di tempat itu dijumpai adanya beberapa batu peninggalan dan Tamansari tersebut, batu itu diantaranya : Batu Ambon, Batu Panah, Batu Payung, Batu Jarum Sembrani dan sebagainya. Mereka yang datang ke sana adalah nenepi atau untuk memohon sesuatu. Kaitannya dengan setiap hari Selasa malam Rabu atau Rebo Wekasan di bulan Sapar ini adalah banyaknya masyarakat yang menghadap kepada Kyai Faqih untuk meminta doa kepada beliau agar selamat dari malapetaka.

 

4.  Awal Mula Pasar Malam di Acara Rebo Pungkasan

Wisuh di tempuran yang diawali pelarungan jimat atau zam-zam oleh Kya Welit yang  kemudian dilakukan oleh masyarakat setiap tahun, setiap hari Rabu terakhir bulan Shafar. Hal inilah yang memicu kegiatan ekonomi di sekitar Masjid Taqwa dan sekitar tempuran.

Lambat laun, upacara tersebut semakin ramai, bahkan tidak sedikit wisatawan manca negara yang datang. Begitu bayak warga yang datang untuk melakukan wisuh atau hanya sekedar berwisata, hal tersebut justru menjadi kekhawatirantakmir Masjid Taqwa, karena saat itu masjid Taqwa seolah dijadikan tempat wisata. Hal tersebut terbukti saat para wisatawan masuk dan hanya melihat-lihat bagian dalam masjid tetapi tidak melakukan wisuh. Terlebih lagi wisatawan manca negara  bukan muslim, jika mereka masuk masjid dirasa tabu oleh penduduk, sehingga sekitar tahun 1980, pemerintah Desa Wonokromo mengalihkan keramaian tersebut ke lapangan balai desa Wonokromo. Acara tersebut hingga sekarang disebut pasar malam Rabu Pungkasan. Pasar malam tersebut diadakan tujuh hari sebelum hari Rabu terakhir bulan shafar dan acara puncaknya pada malam terakhir.

Adapun arak-arakan Boga Wiwaha atau Lemper Agung yang berukuran sekitar pajang 2,5 meter dan berdiameter 0,8 meter diadakan sekitar tahun 1987 atas usul para pemuda karang taruna sebagai icon desa Wonokromo. Lemper Raksasa tersebut terispirasi dari jamuan Kiyai Abdullah Faqih atau Kiyai Welit yang disuguhkan kepada para tamunya.

Beberapa tahun setelah Icon Boga wiwaha (Boga : masakan, wiwaha : besar) yang berwujud lemper tersebut dimunculkan dan diarak saat malam puncak Rabu Pungkasan, muncullah ide untuk membuat gunungan, yaitu hasil bumi seperti padi, palawija, buah-buahan dan lainnya yang dibuat membentuk seperti gunung. Hal tersebut terinspirasi dari grebeg Maulud Kraton Ngayogyakarta.

 

5. Komponen Upacara

  1. a.    Waktu dan Tempat Upacara

Upacara Rebo Wekasan atau Rebo Pungkasan di Desa Wonokromo ini diadakan setahun sekali pada hari Selasa malam Rabu di minggu terakhir bulan Sapar. Dipilihnya hari tersebut dikaitkan dengan pertemuannya Sultan Agung dan Kyai Faqih pada hari itu dan bulannya Sapar minggu yang terakhir.

Dulu upacara ini berada di tempuran Kali Opak dan Kali Gajahwong. Sedang keramaiannya atau pasar malam berada di dekat tempuran tersebut sampai ke depan masjid. Namun lama-kelamaan kegiatan itu semakin rarnai, sehingga mengganggu kegiatan ibadah Masjid. Untuk itu atas perintah Lurah Wonokromo, maka Upacara Rebo Wekasan, keramaian, atau pasar malamnya dipindah di depan balai desa yakni di Lapangan Wonokromo.

  1. b.   Penyelenggaraan Upacara

Pada jaman dahulu penyelenggara upacara adalah masyarakat Wonokromo dan sekitarnya tanpa membutuhkan biaya. Namun mulai tahun 1990 Upacara Rebo Wekasan mulai dikoordinir oleh aparat desa dan sebagai ketua panitia adalah kadesnya. Kemudian seksi-seksi dibantu oleh aparat dan tokoh masyarakat.

Mengenai pembiayaan dulunya hanya pribadi-pribadi dan paling tidak hanya untuk modal jualan lemper dan membeli bunga tabur. Namun setelah upacara ini dikelola pemerintah desa, maka biaya penyelenggaraan diperoleh dari hasil sewa tempat untuk berbagai stan pada acara pasar malam. Di samping itu juga ada tambahan dana dari Dinas Pariwisata dan swadaya masyarakat.

 

 

 

6.  Peralatan Sesaji dan Prosesi Jalannya Upacara

a.  Peralatan Sesaji yang Digunakan

Pada jaman dahulu peralatan yang digunakan untuk upacara cukup sederhana terutama bagi yang mengambil air ya cukup membawa botol atau kaleng saja. Sedangkan untuk sesajinya berupa bunga. Namun setelah dikelola oleh perangkat desa, maka peralatan yang digunakan bermacam-macam dan umumnya dibuat dari bambu, misalnya untuk tempat menggotong lemper, tempat membawa gunungan, dan sebagainya. Adapun makna yang terkandung dalam lemper tersebut untuk mengingatkan kepada masyarakat bahwa Sultan Agung itu penggemar makan lemper. Sedangkan untuk gunungan tersebut dibuat dari bahan makanan seperti sayur-sayuran, kacang, cabai merah, telur, ubi dan beberapa pelengkap yang terbuat dari ketan dan dibentuk menyerupai gunung sebagai kemakmuran dan kekayaan tanah Keraton Mataram.

  1. b.   Jalannya/Prosesi Upacara

Dalam menyambut Upacara Rebo Wckasan atau Rebo Pungkasan di Desa Wonokromo, Kecamatan Pleret. Biasanya seminggu sebelum puncak acara telah terdapat stan-stan permainan seperti ombak banyu, trem, dremolem, dan sebagainya. Kemudian ada pasar malam yang bentuknya seperti sekaten, yakni ada yang berjualan pakaian, makanan, mainan dan sebagainya. Tapi yang jelas dalam berjualan makanan tersebut tentu dijumpai orang yang berjualan lemper.

Upacara tradisi Rabu Pungkasan dimulai setelah Isya’. Rangkaian upacara malam Rabu Pungkasan diawali dengan upacara pelepasan Lemper Raksasa dan Gunungan yang dilakukan di masjid Karanganom, Wonokromo, Pleret. Lemper raksasa yaitu sebuah tiruan lemper yang berukuran tinggi 2,5 meter dengan diamter 80 cm. Lemper raksasa tersebut terbuat dari bahan lemper pada umumnya, yakni beras ketan yang diisi daging ayam. Lemper raksasa tersebut tidak semua bagiannya terisi oleh beras ketan yang berisi daging ayam, namun hanya sekitar setengah meter saja yang terisi, dan sisanya hanya merupakan properti saja. Sehingga seolah-olah bila bila dilihat akan nampak seperti lemper raksasa secara keseluruhan, akan tetapi tidak demikian yakni sebagian murni berisi lemper dan sebagian hanya properti. Adapun upacara tersebut tersusun atas sambutan takmir masjid, pembacaan sholawat, dan doa bersama yang dipimpin salah seorang sesepuh desa Wonokromo. Setelah doa bersama Lemper dan Gunungan tersebut diarak dari Masjid Karanganom hingga ke Balai Desa Wonokromo. Adapun rute arak-arakan tersebut melewati jalan Imogiri Timur dan menempuh jarak sekitar 2 kilometer.

Lemper dan Gunungan tersebut, diarak oleh beberapa pasukan atau bregodo (dalam bahasa jawa), bregodoSembrani, bregodo Abang, bregodo Umbul-umbul bregodo Gamelan dan bregod  Mburi.

Bregodo Sembrani adalah pasukan pengiring arak-arakan bersama bregodo Mburi. Sedangkan bregodo Abang adalah pasukan pemikul Lemper Agung dan Gunungan. Bregodo umbul-bumbul adalah pasukan yang bertugas membawa bendera yang menyebar diantara arak-arakan tersebut. Bregoda Gamelan adalah pasukan yang terdiri dari para pemusik.

Bregodo Sembrani berjumlah sekitar 28 orang. Bregodo Mburi berjumlah 40 orang dan dipimpin oleh kapten bregodo. Bregodo Abang yang bertugas memikul berjumlah 20 orang, bregodo Gamelan berjumlah 10 orang yang terdiri dari satu peniup terompet, dua peniup seruling, 2 penabuh bendhe, 2 penabuh tambur dan 2 penabuh Jedog, sedangkan bregodo Umbul-umbul berjumlah 10 orang.

Dari sekian banyak pasukan, kemando pusat dipegang oleh seorang Panji atau  panglima perang. Panji tersebut bertugas mengatur pasukan yang mengawal Lemper Agung dan Gunungan tersebut sampai di hadapan Kepala Desa Wonokromo dengan aman. Dalam proses perjalanan mulai depan halaman masjid hingga Balai Desa Wonokromo, prajurit kraton serta kelompok pemikul lemper raksasa tersebut menjadi perhatian warga sekitar hingga menimbulkan kemacetan.

Selama lemper raksasa diusung dari depan masjid dan dikirabkan, maka di kantor balai desa sudah banyak para tamu undangan yang menunggu kehadiran lemper raksasa tersebut. Setibanya di balai desa Wonokromo, Lemper dan Gunungan dinaikkan ke atas pendhopo balai desa. Dihadapan pendopo telah menunggu ribuan warga dari berbagai wilayah untuk berebut lemper dan gunungan tersebut. Setelah lemper Agung dan Gunungan tersebut naik diatas pedhopo, diadakan upacara pemotongan lemper. Diawali dengan sambutan Kepala Desa Wonokromo, pemaknaan dari perayaan tersebut oleh sesepuh lalu doa bersama dan dilanjutkan pagas lemper atau pemotongan lemper oleh BupatiBantulCamat Kecamatan Pleret dan Kepala Desa Wonokromo.

Setelah diadakan pemotongan lemper raksasa oleh pejabat tinggi yang merupakan puncak dari acara tersebut. lemper tadi lalu dibagi-bagikan kepada tamu undangan yang hadir dan pengunjung, dan kekurangannya ditambah dengan lemper biasa yang sengaja dibuat oleh panitia guna menutupi kekurangan. Demikian pula Gunungan yang dibawa tadi juga dipotong dan dibagi-bagikan pada pengunjung bahkan untuk rebutan seperti yang terjadi dalam acara sekaten di Kraton Ngayogyakarta itu. Setelah itu Upacara Rebo Wekasan selesai, hanya saja untuk stan-stan seperti ombak banyu, para penjual dan sebagainya itu tetap masih ada kira-kira seminggu lamanya. Acara arak-arakan ini berlangsung sekitar empat jam, dimulai pukul 19.00 WIB – 22.000 WIB.

Kaitannya dengan orang mandi atau menyeberang tempuran yang ada istilah cincing tidak ada lagi, karena kali tersebut sekarang ini kedalamannya lebih dan satu meter, sebab di sekitamya dibuat bendungan untuk mengaliri sawah. Acara tersebut yang jelas bagi masyarakat Wonokromo adalah pengajian akbar atau mujahadah akbar yang dilaksanakan pada hari Selasa malam Rabu di bulan Sapar jatuh pada malam Rabu terakhir.

  1. c.    Perubahan pada Acara Rebo Pungkasan

Seperti telah diuraikan di atas bahwa Upacara Rebo Wekasan sudah banyak mengalami perubahan baik dalam hal prosesinya maupun dalam pemakaian tempat upacara.

Jalannya/Prosesi upacara:

ü Dahulu pusat upacara berasal dan tempuran Kali Gajahwong dan Kali Opak, dimana mereka yang akan menyeberang sungai tersebut dengan ada yang mengeluarkan ucapan-ucapan kotor. Namun sejak tahun 1990 dipindahkan di sekitar Balai Desa Wonokromo dan di Lapangan Wonokromo. Bahkan dalam upacara tersebut di masjid diadakan pengajian akbar.

ü Bagi mereka yang akan mengadakan nenepi di Gunung Permoni tidak perlu lagi harus menyeberang sungai melainkan sudah dibuatkan jembatan menuju ke gunung itu.

ü Sebagai puncak acara dalam Rebo Wekasan sekarang ini adalah mengarak lemper raksasa, yaitu dari masjid menuju balai desa selanjutnya dibagi-bagikan kepada para pengunjung.

7.  Makna yang Terkandung Dalam Acara Rebo Pungkasan

Pada awal mulanya Kiyai Welit menyuruh para penduduk yang datang ke rumahnya untuk melakukan Wisuh. Wisuhdalam bahasa Indonesia dimaksudkan bersuci atau berwudhu sehingga orang-orang yang datang untuk berobat bisa bersuci terlebih dahulu lalu mereka dapat bermunajat kepada Allah SWT di Masjid Taqwa Wonokromo yang letaknya tak jauh dari tempuran. Namun sekarang ini, kata wisuh dipelesetkan menjadi misuh. Kata misuh sendiri berartimengejek, menggerutu atau mengucapkan kata-kata kotor, sehingga ritual bersuci di tempuran sekarang malah menjadi ritual misuh atau mengucapkan kata-kata kotor. Tidak sedikit orang yang datang ke Tempuran, saat malam Rabu terakhir bulan Shafar hanya datang mengucapkan kata-kata kotor lalu pergi. Meski demikian ada juga warga yang datang dan melakukan wudhu lalu bermunajat di masjid Taqwa Wonokromo.

              Ngalap Berkah yang dilakukan warga setelah dipotong lemper raksasa dan gunungan dibagikan kepada warga yang hadir, akan tetapi warga tidak sabar sehingga berebut untuk mendapatkan bagian dari lemper dan gunungan  akibatnya terjadi justru keramaian yang berdesak-desakan dan kriminalitas pun terjadi seperti pencopetan. Tak hanya itu, tak sedikit pula warga yang terlukan karena perebuatan tersebut. Seharusnya ngalap berkah dari Lemper Agung akan bisa dirasakan berkahnya saat berlangsung khidmad, saat lemper dibagikan secara tertib dan dirayakan dengan baik, membaca Bismillah sebelum memakannya juga dimakan bersama-sama dengan warga lain.

 

Komentar atas Upacara Adat Rabo pungkasan Desa Wonokromo

Formulir Penulisan Komentar

Nama
Alamat e-mail
Komentar
Isikan kode Captcha di atas
 

TAUTAN

http://kpud-bantulkab.go.id/

Kalender Hijriyah-Masehi 2018

Habib

Komentar Terkini

Media Sosial

FacebookTwitterGoogle PlussYoutubeInstagram

Statistik Kunjungan

Hari ini
Kemarin
Jumlah Pengunjung

Website desa ini berbasis Aplikasi Sistem Informasi Desa (SID) Berdaya yang diprakarsai dan dikembangkan oleh Combine Resource Institution sejak 2009 dengan merujuk pada Lisensi SID Berdaya. Isi website ini berada di bawah ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik dan Attribution-NonCommercial-NoDerivatives 4.0 International (CC BY-NC-ND 4.0) License